Teringat jum'at kemarin, ketika saya berkesempatan mendampingi Syaikh Dr. Fadhil al Jaelani ulama dari Turkey generasi ke 24 dari Syaikh Abdul Qadir al Jaelani, untuk shalat jum'at dan ziarah ke maqam Imam Syafi'i di Masjid Imam Syafi'i Kairo. Sepanjang kami berjalan menuju masjid yang tengah riuh dengan pasarnya yang hanya ada seminggu sekali yakni setiap hari jum'at itu. Sepanjang jalan itu juga beliau (Syaikh Fadhil) selalu mengatakan berulang-ulang kepada kami;
"Kaherah maa fii nazhif" maksudnya, Kairo tidak ada yang bersih.
Sambil menunjukkan jalan-jalan yang berserakan dan kotor, kalimat itu berulang-ulang diucapkannya. Saya dapat menerka apa yang beliau lihat, mungkin beliau kecewa, kecewa karena mayoritas penduduk Mesir dari mereka adalah muslim dan ulama-ulama berkaliber dunia banyak berasal dari negeri ini, tetapi kenapa negeri ini tidak mencerminkan sedikitpun hakikat muslim yang sejati, yang seharusnya masalah kecil seperti kebersihan dapat di laksanakan dengan baik. Karena kebersihan atau Thaharoh didalam setiap kitab-kitab fikih adalah masalah yang paling mendasar yang harus difahami sebelum masuk kedalam masalah-masalah yang besar.
Sepanjang jalan pun saya ikut meresapi apa yang diucapkan olehnya. Saya melihat sepanjang jalan Maqom-Maqom yang sudah tidak terurus, padahal tidak sedikit dari sedemikian banyak maqom terdapat maqom-maqom dari golongan orang-orang shalih. Walaupun tidak ada perintah untuk mengagungkan atau menjaga maqom orang yang sudah wafat paling tidak pemerintah atau penanggung jawab daerah tersebut dapat mengurus daerahnya dengan baik. Karena walau bagaimanapun orang-orang yang Umroh dari seluruh penjuru dunia pasti ingin menziarahi maqom Ulama mazhab terkenal di dunia itu.
Ketika selesai menunaikan shalat jum'at kami menuju kebeberapa maqom sebelum akhirnya ke maqom Imam Syafi'i. seperti biasa saya yang sudah hampir lima kali berziarah ke maqom Imam syafi'i sedikit tahu tentang keadaan disana. Tiba-tiba orang mesir datang menghampiri Syaikh, dan bercerita kepadanya. Saya sudah dapat mengira bahwa orang tersebut bukan sedang mengadu tentang permasalahan agama atau apapun yang berkaitan dengan agama, Melainkan mereka meminta atau mengharapkan belas kasih agar mendapat sedikit banyak uang dari orang-orang yang berziarah. Syaikh akhirnya kembali bergumam, yang saya tangkap adalah tidak sepatutnya dari kalang umat muslim berlaku seperti itu yakni meminta-minta.
Singkat cerita, setelah kami berziarah, berdo'a, bersholawat dan membaca Alqur'an. Akhirnya kami melanjutkan perjalanan pulang. Lagi-lagi Syaikh Fadhil bersedih hati melihat lingkungan Mesir tepatnya Kairo yang kumuh tidak terjaga. Beliau berkata seorang diri dan saya tepat berada disampingnya.
"Kenapa bisa seperti ini, lingkungannya sangat tidak sehat" kurang lebih seperti itu.
Akhirnya saya ingin mengetahui memang seperti apa tempat tinggal beliau di Istanbul Turkey, apakah lebih baik dari yang beliau lihat saat ini. Saya pun mengutarakan pertanyaan kepadanya,
"Mungkin di turkey tidak seperti ini yah syiekh?"
Seketika beliau menjawab dengan isyarat.
"Turkey..." sahutnya. seperti ini; sambil membuka telapak tangannya yang bersih lagi putih lalu menggoreskan telunjuk tangan kirinya diatas telapak tangan kanannya.
Mungkin Turkey tempat tinggal beliau itu seperti apa yang ditunjukkan beliau kepada saya; Bersih seperti telapak tangannya yang bersih.
Saya hanya terdiam dan memanggut, karena begitu takjub dengan jawabannya.
Tiba-tiba sebuah tuk-tuk (bajaj) menyelinap diarah kami dengan musik dangdut mesirnya yang begitu kerasnya.
Sang Syaikh berzikir dan mengembangkan senyumnya kepada kami dan berkata,
"Hadza Dunia, Hadza Dunia." seperti inilah dunia, inilah dunia.
Syaikh beristigfar. Hujan pun turun membasahi kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar