Oleh: Muhammad Syahrul Fakhri
Saat ini saya teringat dua orang yang sangat saya sayangi, namun mereka sudah pergi jauh meninggalkan saya. Pertama adalah Ayah saya dan yang kedua adalah Abang saya yang nomor empat. Ayah saya wafat ditahun 2001 dan abang saya wafat ditahun 2008. Jarak yang tidak begitu jauh. Namun terlalu begitu cepat. Ketika Ayah wafat, umur saya baru 11 tahun. Masih sangat terlalu kecil untuk ditinggalkan oleh orang yang begitu sangat berarti. Tidak hanya bagi kehidupan saya, tetapi juga keluarga saya. Beliau (Ayah) wafat dijum'at shubuh 26 oktober 2001 M. Beliau wafat ketika hendak melaksanakan shalat shubuh, setelah keluar dari kamar mandi. Shubuh itu dibilik kamarnya tiba-tiba Ayah terjatuh lemas tak berdaya. Ibu saya langsung membangunkan adik beradik, termasuk saya saat itu. saya terkejut, ibu membangunkan saya dan kakak lelaki dengan begitu cemasnya. Setelah saya hampiri Ayah sudah terbaring dengan busa dimulutnya. Ayah sakit jantung. Kami semua panik. Ibu yang disampingnya terus mengucapkan kalimah thayyibah ditelinga Ayah. Saya hanya bisa terdiam, dan Cuma bisa mengucapkan "Mama bangun…" (mama adalah panggilan saya kepada Ayah, menurut Ummi, Mama itu adalah panggilan untuk Ayah dalam bahasa sunda, mungkin hanya 10 orang dari 1000 orang yang memanggil dengan sebutan seperti itu, termasuk saya) saya pun belum bisa menangis melihat kejadian itu. maklum saya baru first time melihat langsung orang menghirupkan nafas terakhirnya. Saya belum begitu faham. Setelah beberapa lama, kakak saya memanggil tetangga-tetangga dan menelfon saudara-saudara terdekat untuk meminta bantuan. Dan mereka pun akhirnya datang. Sebagian orang dari tetangga saya memberi saran agar dibawa kerumah sakit. Tetapi Ibu saya tidak mengizinkan, beliau lebih memilih Ikhlas jika memang ini sudah menjadi kehendak-Nya.
Saat ini saya teringat dua orang yang sangat saya sayangi, namun mereka sudah pergi jauh meninggalkan saya. Pertama adalah Ayah saya dan yang kedua adalah Abang saya yang nomor empat. Ayah saya wafat ditahun 2001 dan abang saya wafat ditahun 2008. Jarak yang tidak begitu jauh. Namun terlalu begitu cepat. Ketika Ayah wafat, umur saya baru 11 tahun. Masih sangat terlalu kecil untuk ditinggalkan oleh orang yang begitu sangat berarti. Tidak hanya bagi kehidupan saya, tetapi juga keluarga saya. Beliau (Ayah) wafat dijum'at shubuh 26 oktober 2001 M. Beliau wafat ketika hendak melaksanakan shalat shubuh, setelah keluar dari kamar mandi. Shubuh itu dibilik kamarnya tiba-tiba Ayah terjatuh lemas tak berdaya. Ibu saya langsung membangunkan adik beradik, termasuk saya saat itu. saya terkejut, ibu membangunkan saya dan kakak lelaki dengan begitu cemasnya. Setelah saya hampiri Ayah sudah terbaring dengan busa dimulutnya. Ayah sakit jantung. Kami semua panik. Ibu yang disampingnya terus mengucapkan kalimah thayyibah ditelinga Ayah. Saya hanya bisa terdiam, dan Cuma bisa mengucapkan "Mama bangun…" (mama adalah panggilan saya kepada Ayah, menurut Ummi, Mama itu adalah panggilan untuk Ayah dalam bahasa sunda, mungkin hanya 10 orang dari 1000 orang yang memanggil dengan sebutan seperti itu, termasuk saya) saya pun belum bisa menangis melihat kejadian itu. maklum saya baru first time melihat langsung orang menghirupkan nafas terakhirnya. Saya belum begitu faham. Setelah beberapa lama, kakak saya memanggil tetangga-tetangga dan menelfon saudara-saudara terdekat untuk meminta bantuan. Dan mereka pun akhirnya datang. Sebagian orang dari tetangga saya memberi saran agar dibawa kerumah sakit. Tetapi Ibu saya tidak mengizinkan, beliau lebih memilih Ikhlas jika memang ini sudah menjadi kehendak-Nya.
Ayahnda tercinta |
Cahaya matahari pun menyambut hari yang kelam itu, saya mulai faham, bahwa Ayah telah meninggalkan saya untuk selamanya. Saya-pun mulai menangis sejadinya. Saya terus berada disampingnya, karena saya tahu ini adalah hari terakhir untuk melihat dan bersama Ayah. Saya berusaha membaca Yasin disisinya, namun usaha itu tidak bisa. Airmata dengan nafas yang begitu sesak menahan hati dan lisan saya untuk berkata-kata. Saya kelu. Berharap Ayah bangun dan memeluk saya. Tetapi itu tidak mungkin.
Ketika hendak melaksanakan Shalat Jum'at dan Shalat Jenazah, hujan turun begitu lebat, angin bertiup sangat kencang, halilintar pun meledak sekeras-kerasnya. Namun setelah usai melaksanakan Shalat Jum'at dan Shalat Jenazah, hujan-pun cukup reda. Tetapi perkuburan Ayah basah, Air merembas kedalam liang lahat, dan orang-orang harus menimba dahulu air-air yang didalam kuburan itu. setelah itu Ayah-pun dikuburkan. Mulai dari detik itu, sampai detik ini saya tidak pernah lagi melihat senyuman di wajahnya, saya tidak pernah mendengar lagi ucapannya, saya tidak pernah lagi bertemu dengannya. Betapa hati dan diri ini begitu rindu dengan Ayah. Hingga suatu hari dihari yang paling menyiksa, saya sangat merindukan sosoknya.
Berbeda dengan Ayah, Abang saya Almarhum Ahmad Dzulkarnain, atau yang biasa dipanggil dengan sebutan 'Jepang' (karena wajahnya mirip orang jepang, tidak sedikit teman-temannya juga memanggilnya dengan panggilan 'encek') ini meninggal diusianya yang masih muda. Saat itu, Abang berumur kurang lebih 24 tahun. Abang adalah orang yang terlihat begitu sehat, badannya gemuk lebih gemuk dari saya. Tetapi suatu ketika abang tiba-tiba jatuh sakit. Dokter bilang pencernaannya bermasalah. Setelah sekian lama sakitnya pun semakin menjadi-jadi. Tubuhnya menjadi kecil dan terus mengurus. Hingga sampai di bulan yang ke sembilan dimasa kritisnya, abang hanya bisa terbaring diatas kasur. Makan, mandi, buang air, shalat dan lain sebagainya dia lakukan diatas kasur. Dan sembilan bulan selama sakitnya itu pula, Ibu lah yang mengasuhnya dengan sabar. Abang seperti bayi yang baru dilahirkan kembali. Hingga suatu saat dibulan Ramadhan, abang semakin tak berdaya. Tubuhnya tinggal tulang belulang yang dilapisi kulit yang menguning. Matanya celong, seperti jauh dari harapan. Saya yang berada dihadapannya hanya bisa menatap dengan linangan airmata, tidak percaya. Sesekali dia juga menatap wajah saya dan kami saling menatap, dan sesekali juga matanya menatap jam dinding yang terpampang didepannya. Seperti sedang menunggu waktu saja. Ibu pun menyuruh saya untuk mengaji disamping tubuhnya. Saat itu saya mengaji surat Al-Mulk. Berharap agar abang diberikan keselamatan. Ketika mengaji saya mengecilkan suara dikalimat-Nya "Alladzi Khalaqal Mauta…" dengan maksud agar abang saya tidak tersinggung. Tidak berapa lama kami se-keluarga akhirnya berbuka puasa, dilanjutkan dengan shalat maghrib. Setelah itu saya bersiap-siap untuk melaksanakan shalat tarawih di musholla yang jauhnya sekitar 50 meter dari rumah saya, ketika saya hendak berangkat, Ibu-Ibu yang akan melaksanakan sholat tarawih yang tempatnya tepat didepan rumah saya itu menyempatkan diri untuk datang menjenguk dan membacakan yasin untuk kesembuhannya. Saya pun akhirnya berangkat ke musholla.
Abang tepat dibawah saya (hijau putih) |
Baru saja, dua raka'at sholat tarawih. Seseorang memanggil-manggil nama saya. Dan menyuruh saya untuk pulang karena dipanggil oleh Ibu. Saya-pun menuruti. Namun setelah saya berada didepan rumah, suara Ibu-Ibu yang membaca Yasin itu semakin menggema. Saya rasa semakin banyak yang datang menjenguknya. Ketika saya sampai didalam. Ibu saya hanya terdiam tabah dengan airmatanya. Abang saya telah wafat beberapa menit lalu dan saya tidak sempat melihat detik-detik perpisahan itu. Ibu bilang kepada saya, "yang tabah ya… ikhlas kan, Aa jepang sudah meninggal." (Subhanallah, saya sesak untuk melanjutkan cerita ini) saya hanya terdiam, dan terus menatapnya dengan tetesan airmata. Ibu bercerita kronologi detik-detik perpisahan itu. Saat itu, abang meminta kepada ibu agar kedua matanya diusapkan dengan air yang sudah dibacakan surat yasin. Ibu pun menurutinya. Dan setelah itu abang berkata, "sudah… sudah, sudah kelihatan jalannya." Setelah mengucapkan kalimat itu, abang pun terdiam dan terdiam untuk selamanya. Saya pun terdiam mendengar cerita Ibu, hanya sesekali menyeka-nyeka airmata.
Pagi pun tiba, rumah semakin ramai dikunjungi kerabat-kerabat keluarga dan kerabatnya sendiri. Abang dishalatkan di majlis ta'lim yang tepat berada didepan rumah kami. Dan jama'ah yang mengikuti shalat jenazahnya pun terhitung ramai. Setelah dishalatkan abang dibawa ke pemakaman keluarga, abang akan dikuburkan dekat dengan sebelah pekuburan almarhum Ayah. Ketika hendak menguburkannya, anak-anak kecil dikampung dekat pemakaman pun berdatangan. Mereka ingin melihatnya dan tidak hanya melihat. Mereka ikut berdzikir dan berdo'a mengiringi kepergian abang selamanya, didekat tempat peristirahantannya itu. Subhanallah… kami terkejut dengan anak-anak kecil itu. inikah bukti abang mencintai anak kecil, sampai-sampai anak-anak mengiringi kepergiannya tanpa rasa takut sedikitpun melihat sosok jenazah yang terbungkus kain kafan. Almarhum abang memang dikenal begitu baik dan sangat dekat kepada anak-anak kecil. (Semoga ini menjadi amal kebaikan untuknya). Amin.
Begitulah, kisah dua orang yang sangat saya cintai dan saya sayangi. Hingga membuat saya untuk berpuisi kepadanya,
Aku Rindu
Sudah berjalan waktu.
Dekap erat mimpiku.
Ku ingin bersamanya slalu.
Namun kini smua telah terjadi padaku.
Aku hanya bisa terbisu.
Terbisu dan terus terbisu.
Ia telah pergi dari kehidupanku.
Padahal ku masih ingin bersamanya slalu.
Aku hanya bisa merindu.
Mengingat kisah masalalu.
Begitu tersentuh dalam qolbu.
Begitu tergetar dalam benakku.
Wahai Ayah...
Wahai kakak...
Mengapa kau mendahuluiku.
Mereka begitu singkat tetapi sangat berarti. Tuhan lebih mencintai mereka, oleh sebab itu Tuhan memanggil mereka lebih cepat dari apa yang saya kira. Kisah dua manusia hebat dari miliaran manusia itu memberikan kepada kita hikmah. Diantaranya berupa peringatan, bahwa siapapun makhluk yang bernyawa didunia ini pasti akan menghampiri ajalnya. Tidak tahu, apakah detik ini, esok, lusa, atau akan datang. Kita di ingatkan, bahwa ajal akan datang tiba-tiba. Ia tidak di inginkan dan tidak diharapkan oleh siapapun. Walau demikian ia pasti akan tetap datang. Dan ketika ia datang, semua yang menjadi miliknya tiada lagi berharga, walaupun itu berupa kekayaan, kekuasaan dan kebahagiaan. Semua hanya akan ditinggalkan.
Allah sudah menjelaskan tentang ini, didalam firman-Nya "Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami." (QS. Al-Anbiya [21]: 35)
Dan ini adalah sebuah kepastian, tidak ada yang bisa menggugat, menghindari atau menundanya. Kalau Allah sudah berkata cabutlah, maka nyawa kita akan dicabut oleh para malaikat-Nya.
"Dimanapun kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi dan kokoh." (QS. An-Nisaa' [4]: 78)
Betapa teramat lemah lah kita, sepatutnya tidak ada yang dapat kita sombongkan. Karena semuanya hanyalah milik-Nya. bahkan tubuh yang sedang kita diami saat ini pun tiada lagi berarti jika ruh kita sudah terpisah darinya. Namun yang terjadi, kita selalu bangga, bahkan berlebih-lebihan dengan apa-apa yang bersama dengannya. Kita seolah-olah tidak mengetahui bagaimana Allah telah firman-kan tentang penciptaan manusia dan setelahnya. Saya tertegun, setelah mendapatkan beberapa ayat yang tersusun dalam firman-Nya.
"Dan sungguh kami telah menciptakan manusia dari saripati (berasal) dari tanah. Kemudian kami menjadikannya airmani (yang disimpan)dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian, air mani itu kami jadikan sesuatu yang melekat, lalu sesuatu yang melekat itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian, Kami menjadikannya makhluk yang (berbentuk) lain. Mahasuci Allah pencipta yang paling baik. Kemudian setelah itu, sungguh kamu pasti mati. Kemudian, sungguh kamu akan dibangkitkan (dari kuburmu) pada hari kiamat." (QS. Al-Mu'minuun [23]: 12-16)
Ya Allah, maafkanlah dan ampunilah kesalahan dan dosa-dosa kami. Wahai yang Mahapengasih dan Mahapenyayang. Lindungilah kami didunia dan di akhirat nanti. Amin Ya Allah Ya Rabbal'alamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar