20 Januari 2013

Perjalanan Menuju Pernikahan




Pada hari jum'at malam sabtu tanggal 9 September 2011 M, akhirnya saya mengucapkan akad nikah untuk mempersunting calon istri saya menjadi istri yang sah dimata agama dan kedua negara. Ada ketegangan, ada keceriaan, ada kesedihan. Semua rasa menjadi satu dihari yang bahagia itu. Perjalanan yang lumayan rumit untuk menghadapai hari yang penuh kebahagiaan ini terlewati, saya menganggapnya sebagai sebuah ujian Tuhan yang diberikan kepada saya, seberapa besar-kah kesabaran, keseriusan dan keyakinan saya untuk menjalani awal rumah tangga, nanti saya akan ceritakan apa ujian-ujiannya tersebut.

Saya tidak pernah menyangka, saya akan benar-benar menikah di usia saya yang orang bilang masih muda. Walaupun memang sebenarnya saya mempunyai keinginan menikah di usia yang juga masih muda, pastinya pencapaian ini semua ada kaitannya dengan “Tangan Tuhan” yang akhirnya menyatukan dua ikatan yang telah hilang menjadi terikat. Syukur pada-Mu Ya Allah.

Dan tahukan kalian, pada saat sebelum saya menikah, perbincangan tentang proposal meminta persetujuan untuk menikah kepada orangtua dan keluarga khususnya Ibu saya adalah saat-saat yang paling menegangkan dalam hidup saya. Betapa tidak? Saat itu umur saya baru 21 tahun loh. Baru berada ditahun kedua yang sedang mengenyam pendidikan di Universitas Al-azhar. Dan belum punya penghasilan untuk memenuhi kebutuhan lahir dan bathin selepas menikah nanti.

Mungkin karena saya orang yang keras kepala sampai saya yakin  semua akan baik-baik saja, toh rezeki yang memberi Allah SWT yang jelas-jelas adalah Sang Maha Pemberi Rizki. Kenapa juga saya mesti khawatir tentang hal yang satu ini.

Saya pun sempat kecewa, kecewa kepada orang-orang yang mengatakan, “nikah? Masih kecil juga…” atau, “nikah? Mau ngasih makan apa ke istri dan anak-anak nanti?” atau juga, “jangan nikah dulu sebelum selesai kuliyah” atau lagi, “kuliyah dulu yang bener baru nikah” dan atau “jangan minta nikah dulu ya, sebelum dapat kerjaan”. Haduuuh… jujur deh saya pusing dan males ngelayanin orang-orang terkhusus orangtua yang mengatakan ini ke anak-anaknya. Apalagi tidak sedikit pada saat itu, justru orang-orang terdekat saya yang mengatakannya kepada saya dan keluarga saya ketika saya mengajukan proposal persetujuan keluarga untuk menikahkan saya. Yang mau menikah kan saya? Kenapa juga oranglain yang sibuk dengan kehidupan saya. Apa saya melanggar hukum agama jika saya menikah? Kan saya sudah baligh? Apa takut saya masuk penjara? Kan yang kebanyakan masuk penjara justru yang “nikah”nya diem-diem, tanpa wali, tanpa saksi, dan tanpa rukun dan syarat-syaratnya? Iya kan, kan, kan. Hehehe.

Seharusnya orangtua berfikir begini, “kamu sudah baligh, jangan pake pacaran ya, nikah aja langsung” atau, “kapan nikah nak? Jangan takut, insya Allah rezekinya luas kalau sudah menikah” atau juga, “kamu kan dah kuliyah, dah besar donk? Nikah ya, biar kuliyahnya tambah baik” dan atau, “kalo nikah jangan nunggu dapet kerjaan, nanti susah dapet jodoh dan rezekinya gak nambah-nambah” hehehe.

Tetapi saya sangat bersyukur, tahu kenapa? ketika saya meminta Ibu saya untuk mempersetui permintaan saya, saya menganggap dua abang ipar saya yang ber-kependidikan itu akan kecewa mendengar saya meminta di nikahkan padahal kuliyah saya saja belum kelar. Eh gak taunya dibalik itu justru mereka setuju tentang hal menikah muda. …Why not?

Menikah itu mudah, yang susah itu yang punya gengsi besar-besaran. Gengsi kalau nikahnya bukan di gedung. Gengsi kalau kateringnya biasa-biasa aja, gengsi kalau surat undangannya sederhana dan gengsi kalau souvenirnya Cuma gantungan kunci murahan. Padahal kan kenyataannya tidak harus seperti itu. Gimana kalau keberatan sama mahar? Si keluarga perempuan atau si perempuan minta mahar segini, segini dan segini. Haduh… yang kaya begini tinggalin aja, cari aja lagi perempuan lain, toh masih banyak perempuan yang sholehah atau perempuan yang baik-baik. Insya Allah bakal lebih bahagia.

***

Ketika saya akan melaksanakan pernikahan, saya masih berada di Mesir. Tiket pulang sudah ada ditangan saya, saat itu saya akan pulang ke tanah air pada 29 juli 2011. Allah menguji saya dengan beberapa ujian yang benar-benar membuat saya sedikit stress, jadi gak nih nikah? Hahaha.

Ketika tanggal 29 juli 2011saya sudah sangat siap untuk pulang ke tanah air. Saya berdo’a semoga perjalanan saat itu akan baik-baik saja. Saya sudah sampai di Cairo International Airport ditemani senior dan teman saya. Ketika saya ingin memasuki tempat check in barang, saya melihat jadwal pesawat terlebih dahulu. Perasaan saya sudah tidak enak, dari kejauhan saya juga melongok-longok ke tempat petugas check in di ujung sana. Di kounter nomor 29 itu sudah sepi, bahkan bukan lagi petugas penerbangan dari maskapi GULF AIR yang menjaga. Hati saya sudah tidak karuan. Keadaan diujung sana memberi bukti kuat bahwa pesawat sudah akan terbang. Walau bagaimana pun caranya saya sudah benar-benar memastikan saya akan ketinggalan pesawat hari ini. Saya kebingungan, apakah tiket saya akan hangus sia-sia karena terlambat datang. Atau saya masih bisa mengganti tiket dengan jadwal penerbangan yang lain. Kedua orang yang menemani saya pergi mencari cara. Dia menyuruh saya mencoba masuk saja kedalam, ketempat petugas check itu. Saya pun mengikuti sarannya. Saya masuk dengan tergesa-gesa. Mengahmpiri kounter yang di maksud, walaupun tidak ada tanda-tanda yang dapat menenangkan hati. Saya bertanya kepada kedua petugas yang tengah asik mengobrol itu.

“dimana penerbangan GULF AIR menuju Bahrain?”

“sudah tutup beberapa menit yang lalu” jawab salah satu petugas itu.

Saya menoleh ke belakang, memberikan isyarat kepada kedua orang yang menemani saya kalau kounter yang saya datangi sudah tutup. Saya pun bertanya kepada kedua petugas itu.

“lalu bagaimana dengan nasib tiket saya ini?”

Orang Mesir itu menjawab bahwa saya harus ke kantor maskapai tersebut.

“keluar dari sini lalu jalan ke kiri setelah itu belok ke kanan dan lurus. Disana akan menemukan counter-counter berbgaia macam pesawat”.

Saya pun meninggalkannya. Dengan koper besar ditangan yang saya seret-seret sedari tadi. Ketika hendak keluar, saya harus berurusan dengan polisi Mesir, maklum Airport di Kairo berbeda dengan Airport Soekarno-Hatta. Sebelum masuk ke kounter check in, semua berkas-berkas harus diperiksa. Seperti passport, visa, tiket dan koper. Begitupun ketika kita ingin kembali keluar. Di Indonesia yang saya tahu, masuk diperiksa tetapi ketika ingin keluar, ya keluar saja, tanpa ada pemeriksaan atau izin dari siapapun. Saya seperti dikerjakan oleh polisi-polisi didalam gedung itu. Semua polisi melempar-lempar saya agar dapat izin dari polisi ini, polisi itu. Saya dibuatnya stress bukan main. Setelah melewati kejadian tersebut akhirnya saya dapat keluar.

Saya langsung berbicara kepada kedua orang teman saya, dan memberi arahan agar mengikuti saya. Saya pun sampai di kantor maskapai GULF AIR. Disini perkara belum selesai, saya harus menunggu seseorang yang juga rasanya bernasib sama, ditambah dengan proses yang betul-betul lambat pelaksanaannya.

Urusan pun berakhir, dan saya harus membayar uang sebesar 600 Pound Mesir atau sekitar 1.000.000 rupiah untuk merubah jadwal penerbangan yang sudah terlewati. Saya menerima, karena kesalahan pertama ini sebab kekeliruan saya melihat jadwal penerbangan. Saya pun akhirnya keluar dari Cairo International Airport itu. Dan kembali ke apartemen teman, mengangkat koper lalu mengetok pintu rumahnya. Dan disambut denga tawaan penuh ejekan. Menyebalkan!

Lanjut ke Perjalanan Menuju Pernikahan 2>>>
    



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Often Read:

Breaking News

Kata Mereka:

"akulah pemilik masa depanku, tak perduli apa kata orang lain, yg terpenting adalah; Aku adalah Aku, bukan dirimu. Akulah yang menentukan kapan kesuksesan dapat kuraih, karna aku percaya janji Tuhan yang tak mungkin untuk di ingkari."

Percayalah dan yakinlah semuanya dapat kau raih dengan kesungguhan hati dan kebulatan tekad sekeras baja. Kekuranganku adalah sumber kekuatan terbesar dalam hidupku.

(Sahabat saya, Nurul Atiq)