Pada
hari jum'at malam sabtu tanggal 9 September 2011 M, akhirnya saya mengucapkan
akad nikah untuk mempersunting calon istri saya menjadi istri yang sah dimata
agama dan kedua negara. Ada ketegangan, ada keceriaan, ada kesedihan. Semua
rasa menjadi satu dihari yang bahagia itu. Perjalanan yang lumayan rumit untuk
menghadapai hari yang penuh kebahagiaan ini terlewati, saya menganggapnya
sebagai sebuah ujian Tuhan yang diberikan kepada saya, seberapa besar-kah
kesabaran, keseriusan dan keyakinan saya untuk menjalani awal rumah tangga,
nanti saya akan ceritakan apa ujian-ujiannya tersebut.
Saya
tidak pernah menyangka, saya akan benar-benar menikah di usia saya yang orang
bilang masih muda. Walaupun memang sebenarnya saya mempunyai keinginan menikah
di usia yang juga masih muda, pastinya pencapaian ini semua ada kaitannya
dengan “Tangan Tuhan” yang akhirnya menyatukan dua ikatan yang telah hilang
menjadi terikat. Syukur pada-Mu Ya Allah.
Dan
tahukan kalian, pada saat sebelum saya menikah, perbincangan tentang proposal
meminta persetujuan untuk menikah kepada orangtua dan keluarga khususnya Ibu
saya adalah saat-saat yang paling menegangkan dalam hidup saya. Betapa tidak? Saat
itu umur saya baru 21 tahun loh. Baru berada ditahun kedua yang sedang
mengenyam pendidikan di Universitas Al-azhar. Dan belum punya penghasilan untuk
memenuhi kebutuhan lahir dan bathin selepas menikah nanti.
Mungkin
karena saya orang yang keras kepala sampai saya yakin semua akan baik-baik saja, toh rezeki yang memberi
Allah SWT yang jelas-jelas adalah Sang Maha Pemberi Rizki. Kenapa juga saya
mesti khawatir tentang hal yang satu ini.
Saya
pun sempat kecewa, kecewa kepada orang-orang yang mengatakan, “nikah? Masih kecil
juga…” atau, “nikah? Mau ngasih makan apa ke istri dan anak-anak nanti?” atau
juga, “jangan nikah dulu sebelum selesai kuliyah” atau lagi, “kuliyah dulu yang
bener baru nikah” dan atau “jangan minta nikah dulu ya, sebelum dapat kerjaan”.
Haduuuh… jujur deh saya pusing dan males ngelayanin orang-orang terkhusus
orangtua yang mengatakan ini ke anak-anaknya. Apalagi tidak sedikit pada saat
itu, justru orang-orang terdekat saya yang mengatakannya kepada saya dan
keluarga saya ketika saya mengajukan proposal persetujuan keluarga untuk
menikahkan saya. Yang mau menikah kan saya? Kenapa juga oranglain yang sibuk
dengan kehidupan saya. Apa saya melanggar hukum agama jika saya menikah? Kan saya
sudah baligh? Apa takut saya masuk penjara? Kan yang kebanyakan masuk penjara
justru yang “nikah”nya diem-diem, tanpa wali, tanpa saksi, dan tanpa rukun dan
syarat-syaratnya? Iya kan, kan, kan. Hehehe.
Seharusnya
orangtua berfikir begini, “kamu sudah baligh, jangan pake pacaran ya, nikah aja
langsung” atau, “kapan nikah nak? Jangan takut, insya Allah rezekinya luas
kalau sudah menikah” atau juga, “kamu kan dah kuliyah, dah besar donk? Nikah ya,
biar kuliyahnya tambah baik” dan atau, “kalo nikah jangan nunggu dapet kerjaan,
nanti susah dapet jodoh dan rezekinya gak nambah-nambah” hehehe.
Tetapi
saya sangat bersyukur, tahu kenapa? ketika saya meminta Ibu saya untuk
mempersetui permintaan saya, saya menganggap dua abang ipar saya yang
ber-kependidikan itu akan kecewa mendengar saya meminta di nikahkan padahal
kuliyah saya saja belum kelar. Eh gak taunya dibalik itu justru mereka setuju
tentang hal menikah muda. …Why not?
Menikah
itu mudah, yang susah itu yang punya gengsi besar-besaran. Gengsi kalau
nikahnya bukan di gedung. Gengsi kalau kateringnya biasa-biasa aja, gengsi
kalau surat undangannya sederhana dan gengsi kalau souvenirnya Cuma gantungan
kunci murahan. Padahal kan kenyataannya tidak harus seperti itu. Gimana kalau
keberatan sama mahar? Si keluarga perempuan atau si perempuan minta mahar
segini, segini dan segini. Haduh… yang kaya begini tinggalin aja, cari aja lagi
perempuan lain, toh masih banyak perempuan yang sholehah atau perempuan yang
baik-baik. Insya Allah bakal lebih bahagia.
***
Ketika
saya akan melaksanakan pernikahan, saya masih berada di Mesir. Tiket pulang
sudah ada ditangan saya, saat itu saya akan pulang ke tanah air pada 29 juli
2011. Allah menguji saya dengan beberapa ujian yang benar-benar membuat saya
sedikit stress, jadi gak nih nikah? Hahaha.
Ketika
tanggal 29 juli 2011saya sudah sangat siap untuk pulang ke tanah air. Saya berdo’a
semoga perjalanan saat itu akan baik-baik saja. Saya sudah sampai di Cairo
International Airport ditemani senior dan teman saya. Ketika saya ingin
memasuki tempat check in barang, saya melihat jadwal pesawat terlebih dahulu. Perasaan
saya sudah tidak enak, dari kejauhan saya juga melongok-longok ke tempat
petugas check in di ujung sana. Di kounter nomor 29 itu sudah sepi, bahkan
bukan lagi petugas penerbangan dari maskapi GULF AIR yang menjaga. Hati saya
sudah tidak karuan. Keadaan diujung sana memberi bukti kuat bahwa pesawat sudah
akan terbang. Walau bagaimana pun caranya saya sudah benar-benar memastikan
saya akan ketinggalan pesawat hari ini. Saya kebingungan, apakah tiket saya
akan hangus sia-sia karena terlambat datang. Atau saya masih bisa mengganti
tiket dengan jadwal penerbangan yang lain. Kedua orang yang menemani saya pergi
mencari cara. Dia menyuruh saya mencoba masuk saja kedalam, ketempat petugas
check itu. Saya pun mengikuti sarannya. Saya masuk dengan tergesa-gesa. Mengahmpiri
kounter yang di maksud, walaupun tidak ada tanda-tanda yang dapat menenangkan
hati. Saya bertanya kepada kedua petugas yang tengah asik mengobrol itu.
“dimana
penerbangan GULF AIR menuju Bahrain?”
“sudah
tutup beberapa menit yang lalu” jawab salah satu petugas itu.
Saya
menoleh ke belakang, memberikan isyarat kepada kedua orang yang menemani saya
kalau kounter yang saya datangi sudah tutup. Saya pun bertanya kepada kedua
petugas itu.
“lalu
bagaimana dengan nasib tiket saya ini?”
Orang
Mesir itu menjawab bahwa saya harus ke kantor maskapai tersebut.
“keluar
dari sini lalu jalan ke kiri setelah itu belok ke kanan dan lurus. Disana akan
menemukan counter-counter berbgaia macam pesawat”.
Saya
pun meninggalkannya. Dengan koper besar ditangan yang saya seret-seret
sedari tadi. Ketika hendak keluar, saya harus berurusan dengan polisi Mesir,
maklum Airport di Kairo berbeda dengan Airport Soekarno-Hatta. Sebelum masuk ke
kounter check in, semua berkas-berkas harus diperiksa. Seperti passport, visa,
tiket dan koper. Begitupun ketika kita ingin kembali keluar. Di Indonesia yang
saya tahu, masuk diperiksa tetapi ketika ingin keluar, ya keluar saja, tanpa
ada pemeriksaan atau izin dari siapapun. Saya seperti dikerjakan oleh
polisi-polisi didalam gedung itu. Semua polisi melempar-lempar saya agar dapat
izin dari polisi ini, polisi itu. Saya dibuatnya stress bukan main. Setelah melewati
kejadian tersebut akhirnya saya dapat keluar.
Saya
langsung berbicara kepada kedua orang teman saya, dan memberi arahan agar
mengikuti saya. Saya pun sampai di kantor maskapai GULF AIR. Disini perkara
belum selesai, saya harus menunggu seseorang yang juga rasanya bernasib sama,
ditambah dengan proses yang betul-betul lambat pelaksanaannya.
Urusan
pun berakhir, dan saya harus membayar uang sebesar 600 Pound Mesir atau sekitar
1.000.000 rupiah untuk merubah jadwal penerbangan yang sudah terlewati. Saya menerima,
karena kesalahan pertama ini sebab kekeliruan saya melihat jadwal penerbangan. Saya
pun akhirnya keluar dari Cairo International Airport itu. Dan kembali ke
apartemen teman, mengangkat koper lalu mengetok pintu rumahnya. Dan disambut
denga tawaan penuh ejekan. Menyebalkan!
Lanjut ke Perjalanan Menuju Pernikahan 2>>>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar