Pada 'Catatan Sang Langlangbuana' pertama ini saya ingin mengangkat tema yang sederhana tetapi dahsyat. Temanya tentang "cita-cita" tentunya kalian telah mafhum betul makna yang berulang dari kalimat itu. Siapa sih yang tidak kenal dengan cita-cita? Biasanya cita-cita pertama kali dikenalkan oleh orangtua kepada anak-anaknya. atau oleh ibu-ibu guru disebuah taman kanak-kanak kepada anak asuhnya. Saya yakin setiap kalian pasti mempunyai cita-cita dimasa kecilnya. Baik itu cita-cita yang biasa saja sampai cita-cita yang terdengarnya menurut oranglain agak aneh. Namun yang lebih sering kita dengar dari anak-anak kecil adalah, mereka ingin bercita-cita menjadi dokter, menjadi pilot, menjadi polisi, menjadi tentara. Menjadi insinyur. Dan lain sebagainya. Jarang sekali bahkan kita tidak pernah mendengar anak-anak ingin bercita-cita menjadi tukang ojek, pengemis, penjual martabak atau lain sebagainya.
Memang benar, mengajarkan tentang cita-cita kepada anak adalah hal yang baik dan merupakan keharusan bagi orangtua mengenalkannya. agar mereka mengetahui bahwa ada masadepan yang harus dituju dan dipilih ketika mereka telah mulai beranjak dewasa.
Apalagi kalau sang orangtua benar-benar meyokong anaknya yang dari kecil sudah menanamkan cita-cita didirinya. Itu lebih baik dan sangat bagus, Karena hal itu sangat mempengaruhi keberhasilan anak pada masa mendatang.
Presiden pertama kita, Bapak Ir. Soekarno pernah berkata; "Gantungkan cita-citamu setinggi bintang dilangit" ini mengartikan betapa pentingnya cita-cita dalam kehidupan dan kepribadian seseorang. Karena dengan bercita-cita juga dapat mengenali siapa diri kita sebenarnya. Apa potensi kita, dan apa langkah yang akan kita tempuh untuk mencapai cita-cita itu sendiri. Ketika manusia memiliki cita-cita, maka manusia itu akan terbang dengan cita-citanya. Sebagaimana halnya burung terbang dengan dua belah sayapnya. Namun betapa sedihnya jika kita melihat seseorang yang tidak memiliki cita-cita atau harapan. Mereka tidak dapat mengenali dirinya, potensinya dan langkah kehidupannya. Sesunguhnya inilah yang membuat bangsa kita kian terbelakang. Karena seseorang tidak menanamkan cita-citanya, padahal kita tahu setiap manusia pasti memiliki potensi yang amat besar dan beragam.
Disisi lain dalam menanamkan cita-cita pada diri kita atau seseorang, ada hal lain yang dapat lebih menguatkan cita-cita itu sendiri. Yakni sikap Optimis. Optimis sangat dibutuhkan karena ia juga sangat mempengaruhi pencapaian meraih keberhasilannya. Orang yang memiliki sifat optimis selalu bersemangat dalam meraih cita-citanya. Tidak ada rasa khawatir dan sedih didalam kamus orang yang berjiwa optimis. Tentunya sikap optimis diterjemahkan dengan bekerja keras secara cerdas untuk menghasilkan sesuatu yang terbaik.
"Sesungguhnya Allah mencintai sikap optimis dan membenci sikap putus asa." (Al- Hadits)
Peter Drucker mengatakan, cita-cita bukanlah takdir, tapi sebuah petunjuk arah. Ia bukan perintah, tapi komitmen. Ia tidak menentukan masadepan, melainkan wahana yang menggerakkan sumber daya dan energi bagi usaha membangun masadepan. Seandainya saja seluruh orangtua dinegeri ini mengajarkan dan memberi perhatian lebih kepada anak-anaknya, saya yakin tidak ada anak-anak yang berlari-lari di pinggir-pinggir jalan. Tidak ada anak-anak yang mengejar-mengejar angkutan umum dengan gitar kecilnya. Tidak ada anak-anak yang bernyanyi-nyanyi dengan mirisnya. Sungguh sangat mem prihatinkan, ketika kita melihat anak-anak dibawah umur sudah dipaksa mencari nafkah. Dari matahari terbit sampai matahari terbenam bahkan tidak sedikit yang terus memaksa sampai matahari terbit kembali. Kalau mereka terus dibiasakan hidup meminta atau mengemis, bukankah kebiasaan kecil itu akan berdampak besar ketika dewasanya? Bayangkan, jika dimasa kecilnya dididik untuk meminta-minta, bagaimana ketika dewasanya nanti. Bukankah anak-anak merupakan benih-benih berharga untuk kelangsungan sebuah perkembangan atau kemajuan agama dan negara? Kita telah sadar bahwa dari tangan anak-anaklah pemimpin-pemimpin itu lahir. Sebagai orangtua selayaknya kita tidak menuntut anak-anaknya untuk bekerja bahkan mengemis. Masih ada sesuatu yang lebih berguna dan bermanfaat untuk menjadikannya berkembang dengan jalan yang lebih baik. Misalnya, memotivasi anaknya yang sedang menuntut ilmu supaya tidak hanya menjadi pekerja disebuah perusahaan setelah ia menyelesaikan studinya. Tetapi sebaliknya, memotivasi anak-anaknya agar supaya menciptakan lapangan pekerjaan sesuai bidangnya. Dengan begitu dapat membantu banyak orang dalam memenuhi kebutuhan ekonominya. Dan seumpamanya seperti ini bukan saja kita dapat membantu banyak orang melainkan secara tidak langsung kita telah membantu Negara dalam mengurangi pengangguran. Istilah kasarnya "kemiskinan". Bagaimana kita bisa menjadi Negara yang maju, kalau kita sendiri tidak ada keinginan untuk maju? Paling tidak mendidik diri kita dan anak-anak kita untuk menjadi lebih baik.
Seorang penyair Arab mengangkat suaranya, " Seorang Ibu adalah sekolah pertama bagi anaknya. Jika engkau persiapkan dengan baik, maka sama halnya engkau persiapkan bangsa berakar kebaikan." Dalam pembahasan pertama ini saya sama sekali tidak bermaksud untuk mendiskriminasikan para orangtua yang saat ini memanfaatkan anak-anaknya mencari uang seperak dua perak untuk kebutuhan sehari-harinya. Saya hanya berusaha memberi pemahaman kepada para orangtua dengan ilmu yang terbatas ini. Agar saya, kita para pemuda dan semua orangtua membuka sedikit pikirannya akan masadepan anak-anak kita, saya yakin dan tahu betul bagaimana perasaan orangtua terhadap anaknya. Saya dapat mengatakan; tidak ada didunia ini orangtua yang menginginkan anaknya hidup dalam kesusahan apalagi hidup berada dibawah garis kemiskinan. bahkan orangtua rela hidup susah bahkan tidak akan makan sekalipun, walau didepan matanya sudah tersedia nasi. Sebelum anak-anaknya terlebih dahulu memakan nasi itu. Contoh seperti ini pernah terjadi pada zaman Nabi. Berkisah oleh 'Aisyah radiyallahu 'anha, "Datang kerumahku seorang wanita peminta-minta beserta dua putrinya. Namun aku tidak memiliki apa-apa yang dapat aku sedekahkan kepada mereka kecuali hanya sebutir kurma. Wanita tersebut menerima pemberian kurmaku lalu dibagi uuntuk kedua putrinya, sementara ia sendiri tidak memakannya. Dan wanita itu berdiri dan keluar dari rumahku. Tidak berapa lama masuklah Rasulullah SAW. Ku ceritakan hal tersebut kepada beliau. Usai mendengar penuturanku beliau bersabda: "Siapa yang diuji dengan sesuatu dari anak-anak perempuan lalu ia berbuat baik kepada mereka, maka mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka." Telah jelas persaksian saya, bahwa tidak ada seorang ibu atau ayah yang menginginkan anaknya kelaparan. Ia akan memberikan terlebih dahulu kepada anaknya. Disisi lain, adalah tugas dan kewajiban kita para pemuda-pemudi calon-calon pemimpin bangsa Indonesia agar ikut berkontribusi dalam keselamatan-keselamatan adik-adik kita yang kurang mampu. Kita dapat melakukan sesuatu yang baik dengan bidang yang kita geluti saat ini. Kita dapat memberi pencerahan, pembelajaran, dan kesempatan kepada mereka untuk mengenal lebih luas wawasan pengetahuan. Tentunya kita juga tidak pernah ingin mempunyai adik-adik yang bodoh bukan? Seorang pelajar atau mahasiswa yang baik adalah pelajar dan mahasiswa yang dapat memberikan manfaat kepada lingkungan sekitarnya. Paling tidak kasih sayang serta menjaganya. Sekecil apapun usaha dan niat baik itu, tidak ada yang sia-sia dan tidak ada yang merugikan.
Mari kita sama-sama hayati satu ungkapan Almarhumah Ibu Ainun Besari istri daripada mantan Presiden RI ke-3 Bapak BJ. Habibie; "Ilmu Bisa dilihat Dari amalnya. Demo anarkis Mahasiswa Yang Biasa dilakukan menggambarkan Kadar ilmunya rendah". Saya berharap kita dapat melakukan aktifitas yang lebih positif dan lebih menguntungkan untuk bangsa ini. Masadepan kita ada ditangan kita kawan. Kalau para pemimpin atau pejabat pemerintah kita sekarang buruk perangainya, apa kita mau, disaat kita memimpin buruk juga perangai kita? Tentu tidak. Mari sama-sama kita bangun dan bangkitkan cita-cita kita dan adik-adik kita demi masadepan bangsa yang lebih cerah.
Seiring dengan itu, dalam menggapai cita-cita juga, seseorang tidak perlu takut akan pendidikannya. Karena cita-cita tidak menuntut hanya kepada orang yang berpendidikan tinggi saja, kita yang tidak berpendidikan tinggi bahkan tidak berkependidikan sekalipun bisa untuk bercita-cita. Selama apa yang kita cita-citakan itu baik dan dapat mensejahterakan hidup kita. Berapa banyak orang yang berkependidikan tinggi seperti S1 bahkan S2 yang tidak memiliki kegiatan atau pekerjaan? Rasanya yang seperti ini lebih miris didengar dibanding pengangguran yang tidak berkependidikan tinggi. Dan berapa banyak orang-orang besar yang terlahir justru dari pendidikan yang seadanya? Mohamed Ismail Abdul Gofur, Jutawan Singapore dan Tokoh Hartanah ini berkata, "Saya rasa ramai jutawan diluar sana yang tidak mempunyai ijazah. Kebanyakan jutawan menjadi jutawan bukan sebagai pekerja. Mereka tidak mempunyai kelayakan atau berpendidikan tinggi. Tetapi mereka mempunyai kelebihan berinteraksi dan bergaul atau EQ. mereka berfikir secara logik tapi kreatif. Mereka sanggup mengambil resiko, melabur dan memulakan sesuatu. Mereka tidak semestinya berpendidikan tinggi."
Abu Thayyib berucap didalam kitab ta'lim al muta'allim. " Seberapa kadar ahli cita, si cita-cita akan didapati. Seberapa kadar orang mulya, si kemulyaan akan ditemui. Barang kecil tampaknya besar dimata orang yang bercita-cita kecil. Barang besar dimata orang yang bercita-cita besar akan tampak kecil."
Seorang cendekiawan Charles Schaefer Ph.D mengatakan, "Orangtua yang bijaksana akan berusaha memberikan contoh baik pada anaknya dengan berbagai cara, diantaranya: menghadapi problem dengan baik, bijaksana, bersabar, dapat mengendalikan emosi, mengerjakan hak dan kewajibannya dengan tekun, menghargai karya, menunjukkan pandangan hidup yang optimis, membuat kegiatan-kegiatan yang menyenangkan, tidak menyesali hal-hal yang berlalu, mempererat hubungan dengan anak, memperbanyak teman dan sahabat, memperbanyak pengetahuan tambahan dengan membaca dan lain-lain." Sikap orangtua yang bijaksana seperti ini akan membawa keselamatan pada anak-anaknya. DR. 'Aidh al Qarni didalam tulisannya menyinggung beberapa sifat dan perilaku orangtua yang teladan dalam membawa keluarganya:
- Memberikan teladan yang baik bagi anak-anaknya dalam hal perkataan dan perbuatan. Dengan begitu, segala ucapan dan tindakannya akan mereka ikuti.
- Memelihara keselamatan keluarga dengan cara mengajak mereka memuliakan hak-hak Allah, menjalankan semua perintah-Nya, menghindari segala larangan-Nya, dan menjaga batasan-batasan-Nya.
- Menghindarkan keluarga dari gaya hidup glamor (mengagungkan kemewahan duniawi). Pasalnya, hal seperti itu akan merusak akhlak, membawa pada kenistaan, dan acap kali menjerumuskan seseorang pada jurang kemaksiatan.
Begitupun sebaliknya, kita para pemuda-pemudi yang sedang menuju puncak tertinggi cita-citanya jangan pernah lupa akan jasa para orangtua kita, baik orangtua yang melahirkan kita, orangtua yang mendidik kita dan orangtua yang menikahkan kita. Karena walau bagaimanapun jasa mereka begitu besar dalam memelihara kita yang merupakan amanah Tuhan ini. Karena ridha orangtua akan mempermudah perjalanan kita dalam mencapai cita-cita atau harapan kita. Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Ridha Allah ada pada ridha orangtua, murka Allah ada pada murka orangtua." Orangtua dan anak ibarat sebuah dua mata uang, keduanya tidak bisa dipisahkan. Begitupula, kesuksesan seorang anak tidak terlepas dari usaha dan do'a orangtua. Ketika anak berhasil mencapai apa yang dicita-citakannya maka anak itu pun telah berhasil membahagiakan orangtuanya. Sepatutnya kita selalu berdo'a untuk mereka kapanpun dan dimanapun. Suatu masa Ibu asuh saya berpesan kepada saya, "berdo'alah diwaktu-waktu ibu-mu berdo'a, mendoakan kamu. Dengan begitu antara kamu dan ibu-mu akan terjadi kontak bathin. Agar do'a kamu mudah dan cepat di kabulkan oleh Tuhan."
Dan Cita-Cita Saya
Dan rasanya kurang afdhal jika saya mencurahkan isi hati saya tentang cita-cita tetapi saya tidak menceritakan apa cita-cita yang terpendam dalam diri saya sendiri. Baiklah, saya akan bercerita tentang cita-cita saya. Dahulu ketika saya kecil saya bercita-cita ingin menjadi seorang Insinyur yang dapat membangun gedung-gedung cantik dan menjulang tinggi. Disisi lain saya berasumsi, gelar "Ir" itu sangat gagah, apalagi dari berbagai Presiden Indonesia ada dua Presiden yang bergelar Insinyur. Namun seiring berjalannya waktu cita-cita itu harus saya tutup rapat-rapat dan saya buang jauh-jauh. Karena kemampuan saya bermain angka-angka sangat lemah. Ya, pemahaman matematika saya sangat rendah. Bagaimana mungkin seorang yang tidak pandai berhitung akan menjadi seorang Insinyur bangunan? Yang ada hanya akan timbul kerancuan, seharusnya bangunan berdiri tegak yang terjadi malah miring delapan puluh derajat. Seharusnya bangunan terlihat cantik dan asri tetapi yang terjadi malah hancur berserakan. Ibarat seseorang yang memasak tanpa mengetahui resep yang dimasaknya, alhasil berbagai rasa aneh pun terjadi; manis, asem asin ramai rasanya. Hehehe.
Setelah cita-cita menjadi Insinyur kandas ditelan bumi, akhirnya terbesit dihati saya, saya ingin menjadi Presiden di Republik ini!!! tidak tanggung-tanggung, saya ingin menjadi orang nomor satu di Negara ini. terlalu berambisius memang, entah apa yang menyebabkan saya sampai berhalusinasi menjadi seorang Pemimpin Negara, mungkin karena kekecewaan saya kepada para pemimpin Negara ini? atau mungkin karena kekuasaan yang melimpah? Atau bisa jadi karena sifat nasionalis dan jiwa kepemimpinan saya? Wallahu a'lam. Yang jelas saya terkagum-kagum dengan kepemimpinan Rasulallah SAW dan kepemimpinan dua Umar yakni, 'Umar bin Khattab dan 'Umar bin Abdul 'Aziz. Tetapi saya tahu diri, menjadi seorang Pemimpin bukanlah hal yang mudah. Dan tanggung jawab seorang pemimpin tidak seperti tanggung jawab seorang anak kecil kepada barang yang dimilikinya. Tetapi Harapan menjadi Presiden itu semakin hari semakin bertambah menggebu-gebu. Ketika suatu masa saya sedang belajar dengan guru saya, KH. Nurul Anwar bin KH. Noer Alie. Beliau berceramah dan berkata, "Kalian tidak mustahil menjadi seorang Presiden. Kalau kalian ingin kalian pasti Bisa. Pelajarilah bagaimana mereka bisa menjadi Presiden." Seakan-akan beliau membaca pikiran saya. Saya terkejut dan langsung mengabadikannya dibuku pelajaran saya. Namun ada hal lain yang membuat saya harus mengemaskan cita-cita menjadi Pemimpin Negara itu. Berbeda dengan cita-cita menjadi Insinyur yang saya telah buang jauh-jauh bahkan sampai tertelan bumi, cita-cita menjadi pemimpin ini hanya saya kemas lalu saya simpan dengan baik. Jika memang suatu waktu saya harus buka. Akan saya buka, kita tunggu saja tanggal mainnya, hehe lebay banget deh.
Namun semakin hari saya tidak terlalu peduli dengan cita-cita menjadi Pemimpin itu, ada banyak hal yang saya rasa jauh lebih penting daripada menjadi seorang Presiden. Yakni berbuat sesuatu untuk kemaslahatan umat, kemaslahatan yang seperti apa? Tentunya seperti yang telah menjadi prinsip saya. "Khairunnaas anfa'uhum linnaas". Untuk lebih jelasnya akan saya jelaskan pada catatan-catatan selanjutnya.
Dan, semua cita-cita, harapan, impian atau apapun namanya. Semuanya sangat berarti bagi seseorang baik bagi pribadi ataupun lingkungannya. Rasanya, tidak ada manusia sukses yang berawal tidak dari sebuah cita-cita atau harapan. Memang ada, orang yang tidak bercita-cita menjadi "sesuatu" tetapi akhirnya justeru menjadi "sesuatu" yang tidak pernah dibayangkan atau dicita-citakannya. Contoh kecil yang terjadi pada mantan Presiden RI ke-3 Bapak Baharuddin Jusuf Habibie, -semoga beliau selalu dalam lindungan Allah SWT-. Beliau tidak pernah membayangkan atau sama sekali tidak pernah bercita-cita menjadi seorang Pemimpin Negara. Namun pada akhirnya beliaulah yang justeru dipercaya untuk memimpin Negara pada estafet setelah Pemerintahan Presiden Soeharto. Yang seperti ini menurut saya adalah sebuah rahasia Tuhan, yang tidak pernah diketahui oleh makhluk siapapun. Yang jelas, menurut hemat saya, aktifitas dan semua kegiatan yang dilakukan oleh Bapak BJ. Habibie selama hidupnya merupakan aktifitas yang menghantarkan beliau kepada kepercayaan tertingginya yaitu menjadi seorang Pemimpin Negara walau hanya beberapa bulan.
Sebagai penutup pada pembahasan pertama ini, saya mengutip kisah yang saya ambil dari kitab makarimul Akhlaq, Bahwa Syaikhul Imam Al-Ustadz Ridladdin mengemukakan, bahwa Kaisar Dzul Qornain dikala hendak menaklukkan dunia Timur dan Barat bermusyawarah dengan para Hukama, dan katanya: "Bagaimana saya harus pergi untuk memperoleh kekuasaan dan kerajaan ini, padahal dunia itu hanya sedikit nilainya, fana dan hina. Yang berarti ini bukan cita-cita yang luhur?" Hukama menjawab: Pergilah Tuan, demi mendapatkan dunia dan akhirat." Kaisar menyahut: "inilah yang baik."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar